Taujih Ust H. Hilmi Aminuddin,
Pada Acara Pembukaan Musyawarah Majelis Syura 01
Jakarta, 18 Juli 2003
Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh
kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri
nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada
jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan
sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang
shalih. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama
Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. (Q.S. An-Nahl: 120-123)
Alhamdulillah, kita
baru saja menikmati tazawwud ruhi (pembekalan ruhiyah) dengan shalat
(Ashar) kita. Semoga Allah mengabulkan qiyamana wa du’aana, amin ya
rabbal ‘alamin, yang sebelumnya juga kita telah menikmati tazawwud fikri
dari khithab riasi, yang disampaikan oleh akhinal fadhil, DR. Muhammad
Hidayat Nur Wahid. Dari khithab riasi tersebut terpampang jelas, apa
yang harus kita lakukan pada masa-masa am intikhabi ini, apa yang harus
kita persiapan untuk mensukseskan am intikhabi ini. baca Fi zhilalil
khithab riasi tadi untuk suksesnya melaksanakan tuntutan dan tuntutan
khithab riasi tadi, saya ingin memberikan beberapa hal sebagai basis
untuk menunjang dan menopang suksesnya pelaksanaan tuntunan dan tuntutan
dari khithab riasi tadi. Dari khithab riasi tadi tergambar jelas betapa
berat tugas-tugas yang akan kita hadapi, betapa berat
tantangan-tantangan yang harus kita hadapi. Betapa berat tanggung jawab
yang akan kita hadapi di hadapan Allah dan di hadapan umat. Karena itu
kita harus mempunyai basis yang kokoh sebagai munthalaq untuk
melaksanakan tugas-tugas tersebut.
Ikhwan dan akhwat fillah,
sebetulnya basis yang merupakan qa’idah asasiyah yang bisa dijadikan
munthalaq itu sudah amat sangat sering saya sampaikan di banyak majelis
yang dihadiri oleh ikhwan dan akhwat. Tugas apapun, situasi apapun,
kondisi apapun yang kita hadapi, modalnya sebagai basis utama
munthalaqat da’wah kita hanya tiga, yaitu adanya:
1. Matanatul jamaah (kekokohan/kesolidan jamaah)
2. Hayawiyatul harakah (dinamika gerakan)
3. Intajiyatud da’wah (produktivitas dakwah).
Tidak lebih dari itu.
Tiga
kalimat ini, kalau kita buka-buka catatan kita, mungkin sudah tertulis
belasan kali, bahkan mungkin ada yang sudah menulisnya puluhan kali.
Tetapi karena kesibukan kita, tanggung jawab kita yang berat, himpitan
dan tantangan internal dan eksternal yang berat, kadang-kadang ketika
menghadapi situasi kondisi itu, kita lupa membuka untuk merujuknya dari
segi siyasatud da’wah, dari segi idaratud da’wah dan dari segi fiqhud
da’wah.
Tapi sebagaimana kebutuhan orang-orang yang aktif yang juga
diingatkan oleh Allah yang selalu memerlukan tadzkirah, fadzakkir
fainnadzikra tanfa’ul mu’minin, maka kalimat saya di petang hari ini
merupakan suatu dzikra, merupakan suatu tadzkirah, faman syaa-a
dzakarah, yang mudah-mudahan bagi yang menghendakinya bisa mengingatnya
sebagai bekalan langkah-langkah perjuangan sebelum melaksanakan 'am
intikhabi atau ketika melaksanakan program-program intikhabi atau
sesudah 'am intikhabi kita selenggarakan.
Matanatul Jama’ah
Ikhwan
dan akhwat fillah, untuk sebuah soliditas jamaah, kita memerlukan suatu
kondisi, yang sering disebut dengan istiqrar, ketenangan atau
kestabilan. Sudah barang tentu kondisi ini pertama-tama dituntut dari
setiap aktivis dari jamaah ini, dari setiap kader, dari ikhwah atau
akhwat yang mempunyai komitmen dengan gerakan dakwah ini.
Istiqrar Nafsi
Pertama,
setiap kader harus selalu memperhatikan istiqrarun nafsi, ketenangan
dan stabilitas jiwanya. Jangan sampai akibat kesibukan yang demikian
banyak, tantangan yang demikian berat, tuntutan akan pengorbanan yang
melampaui batas-batas kemampuan membuat jiwa kita menjadi kacau,
an-nufus al-murtabikah, yang kacau terguncang, yang akhirnya seperti
yang sering disindir oleh Sayyid Quthub, sebagai an-nuful al-mahzumah,
jiwa yang kalah lebih dulu sebelum terjun ke medan pertempuran. Oleh
karena itu setiap kader, ikhwan dan akhwat harus memperhatikan, harus
memberikan inayah yang cukup terhadap istiqrarun nafsi, ketenangan
jiwanya. Ketenangan jiwa hanya bisa diraih melalui upaya:
Bagaimana
mengarahkan hati kita selalu berhubungan dengan Allah Taala. Bagaimana
menjadikan hati kita menjadi hati yang al-muta’alliqah billah, hati yang
senantiasa berhubungan dengan Allah. Hanya dengan itulah itmi’nanun
nafsi, ketenangan jiwa bisa ditumbuhkan, bisa dipelihara dan bisa
dikembangkan. Bahkan melalui fenomena khalqillah, dengan segala
fenomenanya dan dengan segala interaktifnya, kita pun harus bisa
menggali ibrah wal hikmah litathminil qulub, untuk membuat hati kita
tenang. Sebagaimana permintaan nabi Ibrahim a.s. kepada Allah Taala,
ketika beliau meminta, rabbi arini kaifa tuhyil mauta. Beliau ingin
melihat sebuah fenomena, al-ayatillahil kubra, pertanda kekuasaan Allah
yang besar, yaitu ihyaul maut. Sebab tanpa Allah melaksanakan sifat-Nya
yang mulia, yaitu Al-Muhyi, Yang Menghidupkan, seluruh fenomena yang
universal ini tidak pernah ada. Karenanya permintaannya adalah kaifa
tuhyil mauta. Sebab dari sana beliau akan mendapatkan al-qulub
al-muthmainnah. Awalam tu-min qalu bala walakin liyathmainna qalbi.
Fenomena universal dengan segala interaksinya, dengan segala gerak dan
perilakunya selalu memberikan hikmah wal ibrah untuk memberikan
tathminul qulub, penenangan hati. Karena langsung dengan demikian
mengingat akan keagungan Allah, kebesaran Allah, kasih sayang Allah,
rahmat Allah dan karunia Allah yang demikian banyak ala bidzikrillah
tathmainnul qulub.
Ikhwan dan akhwat fillah, kita sebagai duat dan
da’iyat ilallah harus menjadi orang yang paling sanggup memelihara
hatinya dalam kondisi al-qulub al-muthmainnah dari sanalah akan tumbuh
tsiqah, watsiqun billah, watsiqun binashrillah, yakin betul kepada
Allah, yakin betul akan adanya kemenangan yang dianugerahkan oleh Allah.
Tanpa itu dengan tantangan dan tugas berat ini kita akan gelisah, oleh
karena itu hati kita harus selalu dihubungkan dengan kekuatan Maha
Besar, yaitu Allah Taala. Yang bukan saja menggerakkan alam semesta,
tapi Dialah Pencipta alam semesta. Dialah yang mengarahkan ke mana
bergeraknya alam semesta, tarmasuk fenomena dengan aneka ragam kelompok
dan ideologinya, aneka ragam programnya, seluruhnya digerakkan oleh
Allah dan akan mencapai target-target yang sudah dibatasi oleh
iradatillah dan masyiatillah. Menghadapi akan hal ini tidak akan pernah
bisa merasa gentar melihat kekuatan apa yang disebut partai besar,
karena Allahlah Yang Maha Besar. Kita tidak pernah merasa minder melihat
partai yang kaya raya, karena Allah yang Maha kaya, yang Maha dan Maha
Mulia. Yakin, mungkin apa yang kita miliki sekarang sedikit, tapi yang
dijanjikan Allah dalam rangka pertolongan-Nya adalah Maha, Maha Besar.
Maa indakum yanfadu wa maa indallaahi baaqin, apa-apa yang disediakan
oleh Allah untuk para mujahidin, para duat ilallah la yanfad, baaqin laa
yanfad. Qanaah inilah yang harus kita miliki. Tanpa qanaah kita akan
ngeri melihat kekayaan yang dimiliki partai-partai besar dengan hasil
rampokannya yang demikian banyak seolah-olah di mata kita akan berlomba
dengan kekuatan seperti itu. Tetapi kalau kita yakin bahwa yang
memerintahkan kita berlomba adalah Allah Taala dalam rangka al-khairat,
fastabiqul khairat, kita insya Allah tidak akan ragu untuk start dan
berjalan dengan manhaj Allah dan mencapai finish, mardhatillah. Allah
akbar, Allah akbar.
Jiwa yang semacam itulah yang harus dimiliki oleh
para duat sehingga apapun yang kita hadapi kalkulasinya bukan kalkulasi
bumi, tapi kalkulasi samawi, di mana seluruh fenomena universal ini
tidak ada yang terlepas dari tadbir rabbani. Sekali-kali hanya qulub
muthmainnah sajalah yang akan betul-betul watsiqun billah wa watsiqun
binashrillah.
Ikhwan dan akhwat fillah, alhamdulillah, kita selama
ini, jamaah selalu memahami kita, menjaga kita, memelihara kita, memberi
inayah kepada kita agar hati kita terpelihara, jangan sampai menjadi
nufus murtabikah, jangan menjadi jiwa yang guncang, jiwa yang kalut
dalam menghadapi tantangan. Dan bahkan Allah Taala telah mengarahkan
kepada kita bagaimana agar istiqrarun nafsi itu bisa dipelihara, maka
kemudian Allah mewajibkan dan menyunahkan akan adanya sunnah berumah
tangga dan berkeluarga. Karena berkeluarga adalah salah satu jenjang,
salah satu sarana, salah satu wadah untuk memelihara nufus mustaqirrah.
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Ruum: 21)
Istiqrar ‘Aili
Oleh
karena itu istiqrarun nafsi itu harus dilanjutkan dengan upaya
mewujudkan yang kedua, yaitu: istiqrarun ‘aili, ketenangan dan
kestabilan keluarga para dai dan daiyat. Saya menyadari,
sesadar-sadarnya bahwa keluarga duat dan daiyah tidak seperti keluarga
kebanyakan manusia. Dari mulai munthalaqnya, pangkal bertolaknya mereka
berumah tangga, dimana rumah tangga itu dibangun dengan mahabbah fillah.
Apa lagi sama-sama dibangun melalui kesatuan wihdatul aqidah, wihdatul
fikrah dan wihdatul minhaj. Bahkan selalu seiring bergandengan tangan
dalam perjalanan dakwah dengan segala pengorbanannya, maka ikatan
mahabbah fillah yang didasari wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan
wihdatul manhaj itu diikat pula oleh ikatan romantisme dakwah. Ikatan
romantika dakwah yang mengikat rumah tangga kita. Allahu akbar
walillahil hamd.
Oleh karena itu saya pesankan, setelah kita selalu
memelihara istqrarun nafsi, kita pun harus betul-betul memelihara
istiqrar ‘aili kita, stabilitas dan ketenangan rumah tangga kita. Saya
sering mengatakan bahwa rumah tangga dai adalah rumah tangga qa’idah
da’wiyah, homebase bagi dakwah itu. Dan komandan markasnya adalah istri
kita. Sudah barang tentu para junudullah membutuhkan ri’ayah dari
komandan agar kegairahan berdakwahnya tetap bergelora, agar semangat
dakwahnya tetap menggebu, agar daya juangnya tetap berkobar. Oleh karena
itu mu’asyarah bil ma’ruf, mu’asyarah zaujiyah bil ma’ruf adalah
merupakan sendi-sendi yang harus diperhatikan dalam memelihara istiqrar
‘aili, kestabilan keluarga dai. Saya menyadari, walaupun belum yakin
betul akan kebenaran istilah itu. Katanya ada recycling, perputaran
keremajaan per 20 tahun. Di sini ada ahli psikologi ada dokter, tentang
kebenarannya wallahu a’lam, saya katakan saya belum yakin betul. Tapi
kalimat itu terlalu sering diucapkan, katanya ada recycling dari
keremajaan per 20 tahun. Umur ikhwan dan akhwat kira-kira sekarang ini
pada marhalah murahaqah tsaniyah, fase keremajaan kedua. Sekitar usia 40
tahunan, satu dua saja yang sudah mencapai masa keremajaan ketiga,
seperti saya ini. Wallahu a’lam benar atau tidak, tapi saya yang sudah
melampaui ketiga marhalahnya sekaligus, memang tantangannya berat,
kecuali bagi orang-orang yang muthmainnatun nufus, muthmainnatul qulub,
muthmainnah jiwanya bima qassamallaahu lahu, tentang bagian yang sudah
diberikan oleh Allah pada dia, tentang karunia yang telah diberikan
kepada dia, yang telah mendampinginya selama perjalanan dakwahnya.
Muthmainnah bimaa qassamallaahu lahu. Oleh karena itu saya katakan bimaa
qassamallaahu lahu. Dia qana’ah, sebab al-khairu maa kataballaahu lak,
kebaikan itu, apa yang telah diberikan Allah kepada kamu,
Boleh jadi
kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 216)
Godaan-godaan
yang tidak kamu ketahui itu memang cukup signifikan pada masa-masa
murahaqah itu, tapi saya yakin ithminanul qulub dan qana’ah bimaa
fadhalallaahu lakum akan menjaga istiqrar ‘aili kita.
Ikhwan dan
akhwat fillah, apa lagi yang berada di hadapan saya ini adalah para
qiyadah, mulai dari lembaga-lembaga tinggi jamaah sampai bidang-bidang,
departemen-departemen, wilayah-wilayah seluruhnya hadir yang sudah tentu
mereka adalah orang-orang yang paling dituntut untuk memberikan contoh
‘ailah mustaqirrah, keluarga yang tenang, tenteram dan stabil. Karena
keluarga yang terguncang cukup memberikan kesibukan PR pada jamaah ini,
yang kadang-kadang berlarut-larut, sampai bertahun-tahun untuk meladeni
satu dua keluarga yang iftutina bimaa fatanallahu as-syaithan, yang
terfitnah dengan fitnah yang Allah berikan kepada setan. Oleh karena itu
di dalam majelis ini, apalagi kita akan mengarungi sebuah pertempuran,
sebuah ma’rakah, sebuah shira’. Am intikhabi ini adalah bagi kita adalah
shira’ul wujud, pergulatan untuk mempertahankan eksistensi dalam bidang
politik kita. Dan ini bukan hal yang kecil. Ketika kita sudah muncul
dalam bidang politik, sekali muncul harus kita pertahankan sampai kapan
pun, wujud siyasi kita. Allahu akbar.
Oleh karena itu salah satu
modalnya, selain istiqrarun nafsi, kita jangan bikin jamaah ini
insyighal bil awail al-murtabikah, dengan keluarga-keluarga yang
terguncang, oleh perilaku-perilaku, oleh tantangan-tantangan, oleh
godaan-godaan yang sebetulnya para dai tidak membutuhkannya. Sekali lagi
kepada ikhwan dan kepada akhwat, kepada keduanya, saya pesankan untuk
betul-betul menjaga memelihara al-istiqrar al-‘aili, sebab jika ‘ailat
du’at dan da’iyah ghairu mustaqirrah, tidak tenang, tidak stabil, sudah
barang tentu cukup merepotkan jamaah, cukup menghambat gerak langkah
jamaah ini. Karena dia merupakan labinatun min labinaatul jamaah, salah
satu batu bata dari struktur jamaah ini. Setelah binaul fard adalah
binaul usrah, apakah itu usrah harakiyah apakah usrah yang bersifat
fithriyah, kauniyah dan nasabiyah seterusnya harus dipelihara. Tanpa itu
kaki kita akan tersandung-sandung, jalan kita akan terseok-seok.
Sekarang ini setelah istiqrarun nafsi, istiqrarun ‘aili itu harus
benar-benar dipelihara bersama oleh seluruh komponen keluarga. Pelihara
hubungan dengan istri, dengan suami, dengan anak dengan mertua dengan
orang tua, dengan siapa pun yang terkait dengan keluarga kita, karena
seluruhnya adalah merupakan ra’sul mal, modal utama bagi dakwah ini.
Istiqrar Ijtima’i
Ikhwan
dan akhwat fillah, yang ketiga adalah istiqrar ijtima’i, stabilitas
sosial kita dalam berkomunikasi dengan tetangga, dengan masyarakat
lingkungan. Kita harus husnul jiran, baik jari dzil qurba, apakah
tetangga yang memang kerabat atau jari dzil junub, atau tetangga yang
jauh, apakah jauh lokasi rumahnya, mungkin terselang beberapa rumah,
tapi masih bagian dari lingkungan kehidupan kita atau dekat tapi jauh
dari nasabnya. Seluruhnya harus kita pelihara. Kalau kita bisa
memelihara istiqrar ijtima’i, insya Allah lingkungan kita akan menjadi
al-qaidah al-ijtima’iyah bagi dakwah kita. Apalagi lingkungan-lingkungan
kita sekarang sesuai dengan perjalanan dakwah, sudah merupakan
akumulatif dari kumpulan keluarga-keluarga ikhwan dan akhwat yang
berhimpun di suatu daerah, suatu area atau bahkan sengaja membuat
kampung atau komplek sendiri. Sudah barang tentu harus memperlihatkan
keteladanannya dalam al-istiqrar al-ijtima’i, harus memancarkan qudwah,
keteladanan mujtama’ mustaqir, masyarakat yang tenang dan tenteram.
Karena masyarakat yang tenang dan tenteram sajalah yang akan memberikan
kontribusinya, akan memberikan sumbangsihnya bagi lingkungan-lingkungan
yang lebih luas, umat, bangsa dan negara. Istiqrar ijtma’i, yang tadi
juga sudah diisyaratkan dalam khithab riasi dengan mengembangkan
tawashshul, mengembangkan komunikasi dan hubungan dengan siapa pun yang
mempunyai prospek untuk kita membangun hubungan kita harus laksanakan,
agar mihwar ijtima’i kita, poros kemasyarakatan kita semakin luas dan
itu berarti memelihara al-qa’idah al-ijtima’iyah bagi dakwah ini.
Istiqrar Tanzhimi
Ikhwan
dan akhwat fillah, dengan modal istiqrar nafsi, istiqrar ‘aili dan
istiqrar ijtima’i itu, insya Allah secara struktural kita pun akan
tenang, tanzhim kita akan tenang, tidak banyak PR, tidak banyak urusan
internal, tidak mendengar sindiran sebagai jamaah qadhaya, karena yang
selalu dibahas qadhaya dan qadhaya. Dan ini tadzkirah, saya kira
fenomenanya sedikit, tapi bagi jamaah dakwah cukup mengusik, mengusik
hati, mengusik pikiran. Potensi qiyadah dan qa’idah dan junud terkuras
oleh hal-hal yang begitu. Oleh karena itu dengan modal istiqrar nafsi,
istiqrar ‘aili dan istiqrar ijtima’i, insya Allah akan mencapai yang
keempat: yaitu istiqrar tanzhimi. Tanzhim kita insya Allah akan menjadi
tanzhim mustaqir, menjadi struktur yang stabil, yang tenang, tidak
direpotkan oleh isu, oleh gosip, oleh kasak kusuk, oleh friksi-friksi
yang na’udzubillah jika dibiarkan akan menjadi fraksi-fraksi.
Ikhwan
dan akhwat fillah, sudah barang tentu untuk mencapai istiqrar tanzhimi
itu ada beberapa rukunnya, ada beberapa muqawwimatnya, ada beberapa
sendinya bagi istiqrar tanzhimi, yaitu adanya ketawazunan, adanya
keseimbangan.
Pertama, at-tawazun fit tauzhif, keseimbangan dalam
memfungsikan potensi yang tersedia, potensi yang ada pada ikhwan dan
akhwat, apakah potensi itu, potensi intelektual dengan tsaqafah
kauniyahnya ataukah potensi ulama dengan tsaqafah syar’iyahnya ataukah
potensi para praktisi bisnis apakah para budayawan, para seniman, para
pedagang menengah, pedagang kecil, para pendidik, para sosiolog,
seluruhnya harus seimbang terfungsikan. Saya sebutkan seimbang,
terfungsikan, mengingat selain fungsi-fungsi dakwah, mereka pun dituntut
akan fungsi-fungsi dari kafaah masing-masing. Kafaah mereka sebagai
mu’allim, kafaah mereka sebagai mudarris kafaah mereka sebagai birokrat,
kafaah mereka sebagai politisi, kafaah mereka sebagai pedagang dan
kafaah-kafaah yang lain juga perlu difungsikan, karena semuanya adalah
bagian dari khazanatud da’wah. Sekali lagi harus dengan tawazun,
at-tawazun fit tauzhif. Allahu akbar walillahil hamd
Jangan sampai
terjadi seolah-olah dakwah ini paradoks dengan aktivitas perdagangan,
paradoks dengan tugas-tugas di kepegawaian negeri, paradoks dengan
aktivitas seorang akunting, paradoks dengan aktivitas manajemen sekolah
dan paradoks dengan aktivitas para guru. Sehingga kalau prestasi menjadi
guru berkurang, beralasan terganggu oleh aktivitas dakwah. Kalau
pegawai negeri tidak lancar, beralasan terganggu oleh aktivitas dakwah.
Sangat tidak riil dakwah ini menjadi kambing hitam akan terhambatnya
prestasi-prestasi di bidang kafaah apapun. Justru dakwah ini harus
menjadi pemicu dan pemacu semangat penjabaran kafaah masing-masing di
bidangnya masing-masing di lahannya masing-masing. Tawazun fit tauzhif
adalah salah satu rukun dasar bagi istiqrar tanzhimi.
Ikhwan dan
akhwat fillah, yang kedua, at-tawazun fit tafwidh, keseimbangan dalam
pendelegasian wewenang. Ikhwan dan akhwat semuanya masulin dan masulat
amamallah, jangan sampai menjadi seksi sibuk sementara yang lainnya
tidak kebagian pekerjaan, karena kurang pendelegasian. Pendelegasian
pekerjaan sudah barang tentu dengan keseimbangan. Jangan sampai dengan
alasan kekurangan pendelegasian akhirnya si pemegang wewenang tidak
melakukan apa-apa. Itu namanya tidak seimbang.
At-tawazun
fit-tafwidh, seimbang dalam mendelegasikan wewenangnya, seimbang dalam
melalui saluran-saluran wazhifah tanzhimiyah yang tersedia di bawah
tanggung jawabnya kita salurkan, karena dengan kurang seimbangnya kadar
atau tafwidh pendelegasian maka akan terjadi akumulatif kesibukan,
tertumpuknya kerepotan, yang akhirnya kadang-kadang menuntut diri kita
menjadi otoriter, dictator, karena semuanya harus memutuskan sendiri.
Padahal banyak hal yang sebetulnya bisa didelegasikan untuk memutuskan.
Oleh karena itu sekali lagi at-tawazun fit-tafwidh itu harus dilakukan
agar seluruh fungsionaris, ikhwan dan akhwat di jajarannya masing-masing
bisa mustaqir tanzhimiyan (stabil secara struktural)
Yang ketiga,
at-tawazun fit-taqrir (keseimbangan dalam pengambilan keputusan), sebab
pendelegasian wewenang tanpa diberi hak mengambil keputusan dalam
bidangnya juga adalah pendelegasian yang mubadzir, pendelegasian yang
membuat terbengkalainya potensi orang yang menerima pendelegasian itu,
makanya harus ada juga keseimbangan dalam pengambilan keputusan. Sesuatu
yang kita delegasikan itu bukan saja pekerjaannya, tapi juga
keputusannya dalam bidang-bidang teknis operasionalnya juga kita
delegasikan. Di sini sekaligus merupakan suatu kaderisasi dalam
kepemimpinan, yaitu upaya menumbuhkan an-nukhbah al-qiyadiyah
(kader-kader kepemimpinan). Tumbuh bermunculan karena sudah biasa bukan
saja difungsikan, diberi wewenang pendelegasian, tapi juga diberi hak
mengambil keputusan di dalam bidang yang telah didelegasikan.
Yang
keempat, at-tawazun fit-tamtsil (keseimbangan dalam perwakilan), artinya
fungsi-fungsi, tugas-tugas, pendelegasian-pendelegasian yang kita
berikan harus juga seimbang kepada potensi-potensi semuanya merasa
terwakili; potensi ulama, intelektual, potensi birokrat, potensi
teknokrat, potensi bisnismen, potensi pendidik, seluruhnya terwakili,
tawazun fit-tamtsil. Mengingat jamaah kita ini semakin luas dari segi
tajnid jamahiri dimana para tokoh-tokoh, pakar-pakar, shahibul kafaah
bergabung dengan kita atau fit tajnid rekruiting kaderisasi sudah
menampakkan aneka ragam kafaah, aneka ragam muyul, yang kita rekrut,
sudah barang tentu mereka secara structural merasa terwakili. Ini harus
diperhatikan mengingat qa’idah tanzhimiyah kita semakin luas semakin
menjangkau aneka entitas kemasyarakatan.
Ikhwan dan akhwat fillah,
sudah barang tentu dengan ketawazunan-ketawazunan fit tauzhif, fit
tafwidh, fit-taqrir, fit tamtsil tadi insya Allah kekokohan jamaah ini
bisa lebih terjamin karena semuanya terwakili. Semuanya bisa
mengekspresikan, bisa mengaktualisasikan, bahkan bisa mengartikulasikan
ide-idenya, pendapat-pendapatnya, bakat-bakatnya, ahli-ahlinya,
seluruhnya tampil dalam hidup kejamaahan yang memang membutuhkan mereka
semua karena doktrin kesyumuliyahannya dan ketakamuliyahannya.
Yang
kelima, at-tawazun fi tamwil, sebagai dukungan bagi kokohnya tawazun fi
tauzhif, tawazun fi tafwidh, tawazun fi taqrir dan tawazun fi tamtsil
jama’ah. Kita memerlukan tawazun fi tamwil. Kekokohan istiqrar tanzhimi
selalu membutuhkan keseimbangan anggaran, keseimbangan pendanaan, atau
keseimbangan pembiayaan. Karena amwal merupakan darah dari aktivitas
manusia, begitu juga gerakan dakwah kita memerlukan darah itu, sesuai
dengan tuntutan dan tuntunan Al-Qur’an surat At-Taubah: 41,
Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. At-Taubah: 41)
Ikhwan
dan akhwat fillah, Keseimbangan anggaran dalam jamaah adalah merupakan
keharusan, jangan sampai terjadi adanya bidang miskin dan bidang kaya,
atau departemen ‘basah’ dan departemen ‘kering’, atau wilayah dakwah
gemuk dan wilayah dakwah kurus. Untuk terjaganya tawazun fi tamwil atau
keseimbangan anggaran, atau keseimbangan pembiayaan diperlukan dua hal:
Pertama,
adanya keadilan anggaran antar pusat dan daerah, antara wilayah, dan
antar bidang, antar departemen. Keadilan anggaran juga berarti keharusan
memperhatikan keseimbangan antara kemampuan otoritas keuangan jamaah
dalam memenuhi anggaran dengan tuntutan kebutuhan bidang-bidang,
departemen-departemen, dan wilayah-wilayah atas anggaran
Kedua,
adanya semangat ta’awun, semangat tadhamum, dan semangat takaful antar
bidang, antar departemen, antar wilayah dan bahkan antar personil jamaah
dakwah ini, sehingga jamaah dakwah ini benar-benar menjadi 'kal jasadil
wahid’ yang seluruh komponennya saling merespon satu sama lain secara
proaktif.
Istiqrar Da'wi
Ikhwan dan akhwat fillah, jika istiqrar
tanzhimi tadi bisa terwujud dengan seluruh muqawwimat-nya yang lima
tersebut terpenuhi, maka, insya Allah terjadilah istiqrar da'wi, dakwah
kita stabil, jalan terus. Guncangan apapun tidak akan membuat kita
terguling, jebakan apapun tidak akan membuat kita terperosok, situasi
apapun kita tidak membuat kita terkecoh, insya Allah dakwah yang
mustaqirrah, istiqrar da’wi itu adalah sangat penting dalam rangka
mewujudkan matanatul jamaah tadi.
Hayawiyatul Harakah
Ikhwan dan
akhwat fillah, kemudian yang ingin saya sampaikan tadi yang kedua adalah
hayawiyatul harakah (masalah dinamika harakah). Dinamika harakah ini
juga mempunyai keterkaitan dengan aspek manajerial yang sering saya
sebutkan sebagai khuthuwat tahfizhiyah (langkah-langkah penggairahan,
pembangkitan semangat) dari seluruh anggota jamaah ini, dari seluruh
aktivis dakwah ini seperti yang sering saya sebutkan,
Pertama,
musyarakah ‘inda ittikhadzil qarar (keterlibatan dalam mengambil
keputusan), syuriyan wa istisyaratan, secara isytisyarah konsultatif
(syura secara informal),
Kedua, at-tasyji’ ‘indal ijtihad
(membangkitkan semangat berijtihad), berani mengemukakan pendapat,
berani memberikan kontribusi pemikiran, berani memasukkan usulan-usulan
harus digalakkan. Karena salah satu potensi besar yang dianugerahkan
Allah pada kemanusiaan adalah akal. Kalau akal para aktivis duat dan
daiyat tidak dirangsang untuk berijtihad maka akal mereka akan
terbengkalai, artinya kita telah menelantarkan potensi terbesar dari
kemanusiaan yang merupakan anugerah Allah Taala. At-tasyji’ ‘indal
ijtihad adalah merupakan dari bagian dari keseharian manajemen dakwah.
Ketiga,
ad-da’m ‘indat tanfidz (memberikan dukungan dalam melaksanakan
tugas-tugas). Mungkin dukungan itu berupa yang mubarakah; Allah
yanshurkum, Allahu yutsabbit aqdaamakum atau bahkan dengan memikirkan
sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam back-up dalam pelaksanaan
tugas-tugas kita pikirkan bersama. Jika setiap ikhwan dan akhwat di
lapangan merasa bahwa ia tidak berjalan sendirian, ada ikhwan dan akhwat
yang mendukungnya, ada ikhwan dan akhwat yang mendukung dengan
menyediakan fasilitas sarana dan prasarana, ada ikhwan dan akhwat yang
memberikan dukungan pemikiran, ada ikhwan dan akhwat yang melakukan
tawashau bil-haq, tawashau bis shabr dan tawashau bil marhamah, yang
menuntun dari kemungkinan-kemungkinan terpeleset kepada kesalahan, dan
membantu mengokohkan kesabaran dalam menghadapi tantangan, juga yang
menolong ketika mengalami kesulitan atau musibah dengan penuh kasih
sayang, maka dia akan semakin dinamis dalam bergerak. Hayawiyatul
harakah adalah salah satu bagian dari yang harus diperhatikan melalui
khuthuwat tahfizhiyah tadi.
Keempat, al-i’tiraf wat taqdir ‘indal
injaz (pengakuan dan penghargaan ketika berkarya). Karena sudah menjadi
fitrah manusia, selain dia perlu pengakuan akan eksistensi dirinya, tapi
juga perlu penghargaan atas prestasi dirinya jazaan bima kanu ya’malun
itulah yang dicontohkan oleh Allah Taala, selalu ditawarkan al-jaza,
al-jaza, dan al-jaza. Sudah barang tentu kita tahu bahwa seluruh duat
dan daiyat motivasinya lillahi Taala. Laa uridu minhum jazaan au
syukura, bahasanya memang begitu yang menjadi landasan keyakinannya
dalam berjuang tapi sebagi jamaah sudah barang tentu harus menghargai
setiap fitrah dari setiap aktivis dakwah. Jika berprestasi kita berikan
jazaan au syukura, kalau tidak memberikan imbalan berilah ucapan terima
kasih atas prestasinya.
Kelima, al-insyaf indal khatha’ (keinsyafan
ketika dia melakukan kesalahan) sehingga jika dia bersalah pun disambut
dengan sikap afwan watasamuha. Bukan saja berprestasi kita sambut dengan
jazaan aw syukura tetapi jika bersalah pun afwan wa tasamuha (pemaafan
dan toleransi). Kita mengakui hak kemanusiaan untuk kemungkinan bersalah
jangan sampai akibat kesalahannya seorang ikhwan, seorang akhwat
dilecehkan, didiskreditkan sehingga potensinya hancur di perjalanan.
Padahal kesalahannya itu hanya sebuah kepeseletan dari sekian ribu
langkah dakwahnya yang sudah diayunkan selama ini dengan benar. Kita
jangan membunuh masa depan mereka, masa depan dakwah mereka. Karenanya
lihat tuntunan manajemen dakwah Allah Taala.
Jika terjadi kesalahan,
fa’fu anhum, maafkan mereka, wastaghfir lahum, bahkan secara proaktif
memohonkan ampunan baginya dari Allah Taala, dan bahkan sesudah salah
pun masih diperintahkan fasyawirhum fil amri, masih diajak musyawarah.
Sudah mendapatkan afwu wathalabul maghfirah, fasyawirhum fil amri,
Sehingga bangkit kembali azam dia untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Sehingga memiliki kembali tekad bersama faidza ‘azamta fatawakkal
alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin.
Ikhwan dan akhwat fillah,
khuthuwat tahfizhiyah ini untuk memelihara hayawiyatud da’wah. Untuk
memelihara hayawiyatud da’wah kita harus mendorong:
1. Semangat
interaktif dari seluruh kader-kader dakwah dengan segala permasalah
Islam wal muslimin, segala permasalahan bangsa dan tanah air, segala
permasalahan dunia dan kemanusiaan. Dengan semangat interaktif
terus-menerus dengan segala qadhaya, Islam wa qadhaya ummah, qadhaya
wathan wal qaum, wa qadhaya insaniyah wa ‘alamiyah, insya Allah,
kegairahan itu bisa terpelihara.
2. Syaja'ah adabiyah, keberanian moral untuk melangkah karena sadar akan tanggung jawabnya dalam perjalanan dakwah ini.
3.
Jur-atul mubadarah, keberanian untuk berinisiatif, keberanian untuk
melangkah, keberanian untuk melakukan sesuatu, if’al syai’an lillah,
if’al syai’an lil islam wal muslimin, dia lakukan sesuatu, berani dengan
jur-atul mubadarah. dengan keberanian berinisiatif.
4. Jur-atul
ibtikarah, keberanian berkreativitas, menemukan asalib jadidah
(metode-metode baru), wasail jadidah (sarana/prasarana baru) dan mungkin
ijra-at jadidah (prosedur-prosedur baru) untuk mensukseskan dakwah ini.
Ikhwan dan akhwat fillah insya Allah dengan dua hal tadi hayawiyatul
harakah (dinamika gerakan) dakwah kita akan dipelihara dengan terus
menerus.
5. Keberanian menghadapi kenyataan, apapun adanya kenyataan
yang kita hadapi, kita harus bisa mengontrol diri, dan kemampuan
mengontrol diri merupakan langkah awal untuk mampu mengontrol keadaan
dan bahkan mampu merubah keadaan menjadi lebih baik.
Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka… (Q.S. Ali Imran: 159)
Intajiyatud Da’wah
Munthalaq da’wah kita yang ketiga adalah intajiyatud da’wah (produktivitas dakwah)
Berdakwah
sering kali hasilnya itu bernilai substansial tapi secara material
tidak ril kelihatan. Kadang-kadang kita bekerja, bekerja, bekerja,.. apa
ya hasilnya? Sudah barang tentu ada ukuran-ukuran yang menandai
keberhasilan dakwah itu. Tapi ukuran-ukuran itu memang cenderung
normatif tapi bisa dijadikan patokan, yaitu pertama intajiyatud da’wah
kita bimayurdhillah (dengan apa-apa yang membuat Allah ridha. Dan
keridhaan Allah yang diturunkan kepada para dai membuat dia, hatinya
dikucuri rahmat oleh Allah sehingga hatinya lembut (rahabatush shadr),
santun, fabima rahmatillahi linta lahum. Jadi ada refleksi dari hasil
dakwah yang menghasilkan ridha Allah yaitu hati yang penuh dengan
ghamarati rahmatillah (curahan rahmat Allah) yang qulub layyinah,
mutasamihah (hati yang lembut, santun toleran dan seterusnya. Itu
tandanya ada keberhasilan bima yurdhillah. Begitu juga bima yanfa’ul
islam wal muslimin, yang kedua, keberhasilan dakwah dengan memberikan
manfaat kepada Islam dan muslimin. Ini responnya akan nampak lebih jelas
lebih real kelihatannya yaitu kalau kita melakukan perintah Allah
dengan uslubul ihsan saja, salah satu uslubnya wa ahsin kama ahsanallahu
ilaik, sudah barang tentu, hal jazaul ihsan illal ihsan. Kalau kita
nuhsinu lin nas bima yanfa'uhum mereka pun akan yuhsinu bid da'wah bima
yanfa’ul jamaah. Otomatis saja, kalau kita selalu berbuat memproduk
keihsanan bima yanfa’ul islam wal muslimin. Otomatis al-muslimun
yuhsinuna ilaina bima yanfaud da’wah wal jamaah. Itu otomatis.
Coba
kita hitung perjalanan dakwah kita sekian puluh tahun atau sekian belas
tahun. Betapa kontribusi dari al-muslimin wal muhsinun lid da’wah
terasa. Di tahun pertengahan 80-an, liqaat ikhwan dan akhwat tidak
diketemukan mobil bahkan motor pun jarang Sekarang tempat parkir pun
sempit oleh mobil-mobil para duat, itu adalah bima ahsanallahu ilaikum.
Itulah ihsan Allah kepada antum semua setelah berbuat ihsan dalam
dakwah, berbuat itqan dalam dakwah, sehingga orang-orang pun ikut
yuhsinuna ila da’watina wa ila jamaatina. Dulu kita untuk
menyelenggarakan pertemuan semacam ini berpikir beberapa kali untuk
mengeluarkan uang; sewa gedung dengan segala sarana/prasarana, karena
ketidakmampuan kita. Tapi faqad ahsanallahu ilaina, karena Allah telah
berbuat ihsan kepada kita, oleh karena itu sekali lagi fa ahsin kama
ahsanallahu ilaih, kita tingkatkan keihsanan kita karena Allah telah
terbukti meningkatkan keihsanannya kepada kita.
Ikhwan dan akhwat
fillah, sudah barang tentu terkait dengan intajiyatud da’wah juga selain
bima yanfaul islam wal muslimin atau bima yanfa’unnas atau bima
yurdhillah (dengan membuat Allah ridha) kita pun harus berpikir juga
bimaa yunasyitud da’wah, apa yang membuat aktivitas dakwah meningkat,
gairah dakwah meningkat, gelora dakwah meningkat. Sudah barang tentu
kegairahan, gelora dakwa sesuatu yang fenomena bisa dirasakan atau
dilihat. Jika betul-betul langkah-langkah dakwah kita memberikan manfaat
kepada semua, sudah barang tentu kegairahan itu akan meningkat merata,
imma qudwatan, untuk merupakan keteladanan atau juga da’m, support yang
diberikan.
Ikhwan dan akhwat fillah, begitu juga bima yutsabbitul
jamaah, manfaat itu dengan apa-apa yang mengokohkan kejamaahan kita.
Apakah kontribusi, naudzubillah membuat kita longgarnya kehidupan
berjamaah membuat goyangnya kehidupan berjamaah naudzubillah min dzalik.
Atau kontribusi kita justru mengokohkan jamaah dan semuanya bisa
dirasakan secara langsung dalam kehidupan struktural kita dan
operasional kita dalam berdakwah.
Insya Allah, ikhwan dan akhwat
fillah, jika kita berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan dari soliditas
jamaah, hayawiyatul harakah dan intajiyatud da’wah yang saya sebutkan
tadi tantangan-tantangan yang kita hadapi, pekerjaan berat yang akan
kita pikul, tanggung jawab yang luar biasa berat yang akan kita hadapi,
insya Allah dengan dipikul secara amal jama’i semuanya akan terasa
ringan dan terselesaikan binashrin minallah, Insya Allah.
Allahu yanshurukum wa yutsabbit aqdamakum, insya Allah. Amin ya rabbal alamin. Sekian saja kalimat dari saya.